STORY | Titip Rindu Untuk Kampung Halaman

20:18:00


Senja kala itu hampir pudar.
Karena malam akan segera datang.
Ditandai pula suara adzan magrib tanda bahwa senja ini akan benar- benar pudar.

Bersahutan dengan suara adzan panggilan dari sosok wanita separuh baya hampir samar di dengar. Namun tetap saja masih tak dihiraukan oleh anak kecil perempuan yang cungkring berambut pixie, kala itu sedang asyik bermain diatas pohon kopi kopi nan lebat. 

Tak hanya sendirian anak kecil perempuan itu sedang bermain masak- masakan bersama kedua teman sebayanya.

Berbalut tanah merah yang menodai seluruh tubuh hingga pakaian tetapi paras senyum itu tak hilang dari raut wajah anak kecil perempuan itu. 

Kebahagiaan kian terpancarkan namun tetap saja petang itu bukan saat yang tepat untuk bermain di halaman rumah.

Masih dengan kucalnya
Memasuki lorong rumah dengan tubuh dan pakaian berbalut tanah merah tak dihiraukan selalu olehnya. Tak sadar pula ciplakan jejak kaki anak kecil yang membuat kesal seisi rumah sebab baru saja lantai itu dibersihkan tetap tak dihiraukan sama sekali. Nakalnya anak kecil perempuan ini. 

"Piye toh cak wedo kui, yim yim" tutur sang nenek yang sudah kepayang atas ulahnya.
Berhibenasi di atas pohon kopi nan lebat adalah hobinya hingga berhari- hari anak kecil perempuan itupun sanggup berada di atas sana. Tak ada rasa takut baginya untuk naik turun pohon kopi itu dengan ketinggian sekitar kurang lebih 3 meter dari atas tanah.
"Cil main yuk, kita metik bunga lagi yuk" teriakan anak kecil lain yang mencoba mengajak anak kecil perempuan itu untuk main dengannya.

"Kita mau metik kemana lagi?" balas anak kecil perempuan itu dari atas pohon kopi
"Yang penting kamu turun dulu, sama jangan lupa bawa nampan yah" anjuran dari anak kecil tersebut.

"Sip aku turun dulu yah" ucapnya sambil bergegas turun ke bawah pohon.
"Oke aku tunggu di rumah Sinta yah" saut anak kecil itu ke rumah temannya.
Tanpa berpikir panjang anak kecil perempuan itu berlari ke dalam rumah untuk mengambil nampan bunga yang sebelumnya. Dibukanya nampan tersebut dan ditemukan bangkai- bangkai bunga yang sudah layu. Berhasil iya, cara itu cukup berhasil untuk membuat anak kecil perempuan itu turun dari persinggahannya. 

Dan hari- hari terus berlanjut sehingga tak sadar ada dimana hari itu adalah hari terakhir bagi si anak kecil perempuan itu meninggalkan desa yang telah mengisahkan banyak kenangan kecil disana. Hingga akhirnya dia harus melanjutkan sekolah di Ibukota.

15 tahun berlalu
Kini anak kecil perempuan itu sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sudah mengalami perubahan fisik yang tak sama lagi. Kini diberi kesempatan kembali ke kampung halaman dulu. Infrastruktur yang sudah sangat berubah dan berkembang pesat. Tak ada lagi tanah merah tempat bermain masak-masakan, tak ada lagi bunga yanh bisa dengan mudahnya di petik, dan tak ada lagi pohon kopi tempat singgah sana anak kecil perempuan itu. Kini semua sudah berubah menjadi tumpukan semen yang kokoh hingga bersudut- sudut. 

Namun ada 1 yang tak berubah perasaan cinta terhadap kampung halaman ini yang sudah tertaman kuat di hati. Hingga anak kecil perempuan itu merasa bangga pernah melewatkan setidaknya sedikit kisah di kampung halaman dulu. Kini anak kecil perempuan itu hanya bisa berdoa untuk bisa diberikan kesempatan sehat agar bisa berkunjung ke kampung halaman lebih sering lagi walaupun diiringi oleh kesibukan dari ibukota disana. Kini anak kecil perempuan itu menggungkapkan rasa rindu dan bangganya melalui tulisan ini. Sebab anak kecil perempuan itu adalah saya sendiri.

You Might Also Like

0 komentar

KOMENNYA YAH KAKA! :)

Popular Posts

recent posts

Instagram